Sabtu, 19 Desember 2009

Peluang dan Tantangan Pengalihan PBB dan BPHTB (Bagian Ke-1: Pendahuluan)

UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan UU NO. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 adalah tergolong sebagai pajak pusat. Walaupun sebagai pajak pusat, tetapi penerimaan pajak tersebut, secara mayoritas, diserahkan kembali kepada daerah kabupaten/kota.
Pemerintah pusat mengalihkan PBB P2 dan BPHTB dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa
a. Kebanyakan negara maju menyerahkan urusan pajak properti (jika di Indonesia adalah PBB) menjadi urusan pemerintah daerah.
b. Migas (minyak bumi dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi APBN (anggaran dan pendapatan belanja negara), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengexpor minyak bumi, tetapi sebaliknya sebagai suatu negara yang mengimpor minyak bumi.
c. Akibatnya, sumber pendapatan bagi APBN bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi strategis dalam APBN.
d. Reformasi birokrasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak berhasil membentuk KPP Pratama yang merupakan peleburan dari Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan PBB, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Keberadaan PBB dengan sejumlah permasalahan yang sangat banyak dan tidak diimbangi dengan jumlah penerimaannya, dirasakan mengganggu konsentrasi DJP sebagai tulang punggung pemenuhan APBN.

Sangat sedikit akademisi dan praktisi yang mengetahui perbedaan antara bea dan pajak, serta perbedaan antara bumi dan hak atas tanah. Juga tidak mengerti, mengapa dinamakan PBB bukannya Bea Bumi dan Bangunan (BBB) ataupun Pajak Hak atas Tanah dan Bangunan (PHTB). Juga, mengapa dinamakan BPHTB, bukannya Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ataupun Bea Perolehan Bumi dan Bangunan (BPBB).
Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan (saya singkat PBB P2) selambat-lambatnya pada 31 Desember 2013. Artinya suka atau tidak suka, Pemerintah Kabupaten/Kota harus menerima pengalihan PBB P2 beserta seluruh aspeknya, mulai dari pengiriman SPOP sampai dengan penerbitan SPPT, pemenuhan hak wajib pajak sampai dengan sengketa dengan wajib pajak di pengadilan pajak, Jakarta. Sedangkan BPHTB dialihkan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010.
Bagi pemerintah kabupaten/kota yang sudah matang tingkat persiapannya, mungkin saja ingin secepatnya menerima pengalihan pajak tersebut. Tetapi sayang, peraturan yang akan melaksanaan UU tersebut, belum ada. Yaitu peraturan antara menteri keuangan dan menteri dalam negeri yang akan mengatur tahapan persiapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB (Pasal 182 UU No. 28 Tahun 2009). Peraturan ini akan akan menjadi trigger bagi pemerintah kabupaten/kota untuk segera menerima pengalihan pajak tersebut
Sedangkan pihak yang belum siap, ada baiknya segera mempersiapkan perangkatnya dan bila perlu dapat melakukan kegiatan pengamatan (studi banding) terhadap kabupaten/kota yang telah mengambil alih terlebih dulu.
Sementara itu, bagi kabupaten/kota yang mungkin merasa potensi PBB P2 kurang memadai sehingga memutuskan untuk tidak memungut, maka PBB P2 masih akan menjadi pajak pusat sampai dengan 31 Desember 2013. Tetapi keputusan ini akan membawa konsekuensi serius pada BPHTB. Mengapa? Sesudah tanggal tersebut, maka UU PBB yang mengatur tentang P2 tidak berlaku lagi, sehingga NJOP PBB P2 juga tidak ada lagi. Karena salah satu dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP, maka BPHTB tidak dapat dipungut!
Berikut ini adalah ringkasan dari sebagian materi yang telah saya paparkan pada seminar tentang Peluang dan Tantangan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan di Pontianak (24 Nopember 2009) dan Denpasar (1 dan 2 Desember 2009) yang diselenggarakan oleh Balai Diklat Keuangan, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Departemen Keuangan... Bersambung

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya mau nanya mengenai status kepegawaian pengalihan PBB (p2) dan BPHTB ke sektor pemda, apakah pegawai DJP fungsional penilai yang telah bekerja di DJP akan dialihkan ke pemda juga?? saya kira sebagian dari mereka akan protes, karena dari segi gaji turun drastis.